Cari Blog Ini

Jumat, 13 Januari 2012

Gejala-Gejala Kejiwaan Siswa Belajar Matematika

Indah Septia Dewi Nugraheni
10313244029
Pendidikan Matematika Inter.

I.     Pendahuluan
Bagi sebagian siswa, mempelajari matematika merupakan hal yang sulit dan tidak menyenangkan. Bagi sebagian lainnya, mempelajari matematika sangatlah menarik dan menyenangkan. Kesukaan atau ketidaksukaan siswa dalam belajar matematika dipengaruhi oleh banyak faktor. Gejala-gejala kejiwaan mereka seperti senang mempelajari matematika, suka bekerja sama dengan kelompok dalam menyelesaikan soal, pandangan mereka terhadap cara mengajar guru dan lain-lain merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi suka tidaknya siswa dalam belajar matematika.
Bila siswa sudah menganggap matematika itu sulit, maka matematika itu akan menjadi sulit diterima oleh siswa. Peran guru sangat penting disini untuk memberikan pemahaman pada siswa. Siswa sudah menganggap matematika itu sulit, maka guru harus menjadi fasilitator yang menyenangkan dan bisa membuat siswa merasa nyaman dalam belajar matematika.
Setiap individu memiliki keunikan dan kemampuannya masing-masing. Guru harus peka dan jeli terhadap keadaan seperti ini. Memahami psikologi siswa merupakan cara terbaik untuk menilai cara apa yang tepat untuk membuat siswa dapat memahami matematika. Menciptakan suasana kelas yang kondusif dan menyenangkan akan membuat siswa merasa lebih nyaman dalam belajar matematika. Bila siswa sudah merasa nyaman dalam belajar, semua aspek pendukung seperti aspek kognitif, afektif dan psikomotorik siswa akan berkembang dengan baik.

II.  Pembahasan
Di sekolah, siswa mempelajari hal-hal yang bersifat sederhana menuju pada hal-hal yang bersifat kompleks, dari hal-hal yang bersifat real menuju hal-hal yang bersifat abstrak. Semua dipelajari selama bertahap disesuaikan dengan psikologi dan perkembangan siswa tersebut. Sesuai dengan teori belajar Robert Gagne, siswa belajar dengan cara bertahap, mulai dari yang sederhana sampai hal-hal yang bersifat kompleks.
Anak kelas satu sekolah dasar tentu belajar sesuai dengan usianya. Operasi matematika yang dilakukan masih sangat sederhana dengan bilangan yang kecil. Semakin beranjak besar, anak akan mempelajari system operasi bilangan yang lebih kompleks. Mereka akan mengetahui 1+1 tidak mutlak bernilai 2, karena 1 pensil+ 1 buku berbeda dengan 1 pensil+ 1 pensil. Mereka akan mulai memahami tentang konsep variabel. Begitu pula dalam penghitungan bangun ruang. Siswa akan melihat bangunan real atau nyata sebelum berpikir abstrak. Pertama siswa akan melakukan pengindraan dan membuat persepsi mengenai apa yang ia lihat, kemudian ia akan memikirkan dan mengidentifikasi bangun apa itu. Setelah mengenali suatu bangun, siswa tidak perlu lagi melihat bangun tersebut untuk dapat membayangkan bentuknya. Ia akan membuat konsep dan skema dalam pikirannya dan membangun imajinasi.
Selain itu, siswa akan mudah dalam belajar matematika jika matematika itu memiliki nilai kebermaknaan bagi siswa. Untuk mendapatkan nilai kebermaknaan dari matematika, guru harus menjelaskan mengenai arti penting matematika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa dilakukan dengan praktik secara langsung. Misalnya saja anak-anak kelas 1 SD diberi sejumlah uang dan diminta untuk membelanjakan uang tersebut. Secara matematika, tanpa sadar, anak-anak tersebut telah menggunakan prinsip matematika. Anak-anak tersebut akan mulai mengerti dan memahami pentingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari setelah melakukan praktik langsung.
Interaksi antara guru dan siswa menjadi sangat penting dalam proses pembelajaran. Semua proses belajar mengajar harus berpusat pada siswa (students center). Guru harus mulai mengurangi penggunaan metode ceramah yang selama ini banyak digunakan. Menjadi fasilitator siswa dalam pengembangan potensi dirinya merupakan salah satu peran penting guru. Komunikasi efektif dari guru dan siswa juga akan membantu guru mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh siswa dan dapat mengupayakan bantuan bagi siswanya.
Pada hakikatnya, menurut Ebbut dan Straker hakikat matematika sekolah meliputi empat hal, yaitu:
a.       Matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan.
b.      Matematika adalah kreativitas yang memerlukan intuisi, imajinasi dan penemuan.
c.       Matematika adalah kegiatan problem solving
d.      Matematika merupakan alat komunikasi.
Matematika sekolah membiarkan siswanya berkembang sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Guru hanya menjadi fasilitator yang membantu siswa dalam membangun konsep matematika dalam pikirannya. Dengan demikian siswa akan lebih aktif dan kreatif dalam mencari informasi terkait dengan konsep dan materi yang mereka butuhkan. Mereka seperti biji yang akan tumbuh dengan sendirinya menjadi pohon yang besar dengan fasilitas dari guru.
Dalam mempelajari matematika, gejala jiwa siswa yang cukup tampak adalah berpikir secara kreatif. Kreativitas merupakan salah satu kemampuan berpikir divergen untuk menjajaki berbagai macam jawaban dari suatu persoalan. Dengan berpikir secara kreatif, siswa akan melihat soal dari sudut pandang baru. Karena solusi dari masalah matematika itu tidak tunggal, maka siswa dapat mengerjakan soal matematika dengan berbagai macam kemungkinan cara. Selain itu, siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah matematika dengan caranya masing-masing.
Siswa akan belajar dengan baik bila mereka memiliki motivasi untuk menjadi lebih baik. Pada hakikatnya, belajar adalah suatu proses yang dilakukan manusia agar menjadi lebih baik. Ada dorongan dari dalam diri siswa yang mendasarinya melakukan sesuatu. Siswa memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam belajar. Motivasi sering dikaitkan dengan emosi. Emosi diartikan sebagai tergugahnya perasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan dalam tubuh, misalnya otot menegang dan jantung berdebar. Emosi meliputi perasaan senang, sedih, kecewa bahagia, dan lain sebagainya. Bila siswa merasakan emosi bahagia dan senang dalam belajar matematika, maka ia akan memiliki motivasi untuk terus belajar matematika. Namun apabila siswa merasa kecewa atau takut menghadapi matematika, maka motivasinya untuk belajar matematika akan berkurang.
Setiap siswa adalah pribadi yang unik. Mereka memiliki kemampuan yang beragam dalam berbagai bidang. Ada siswa yang lebih senang belajar sendiri dan ada pula siswa yang lebih senang belajar secara kelompok. 
Masing-masing siswa juga harus memiliki kesiapan sebelum menghadapi proses belajar mengajar. Baik kesiapan secara mental maupun secara materi yang telah dipelajari. Bila siswa sudah siap terhadap materi yang akan diberikan, maka proses belajar mengajar pun akan berjalan dengan lancar. Kesiapan siswa memegang peran yang cukup penting. Bila siswa tidak siap, maka belajarpun akan menjadi seperti bencana bagi siswa.
Membangun suasana kelas yang kondusif dan menyenangkan merupakan salah satu peran guru. Namun demikian, siswa juga berperan penting dalam penciptaan suasana belajar yang menyenangkan. Guru dan siswa harus bersinergi dalam mewujudkan kondisi kelas yang dapat membangun kekondusifan dan keefektifan proses belajar mengajar.



III.   Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, untuk membangun psikologi siswa dalam pembelajaran matematika memerlukan sinergi dari guru maupun siswa. Guru harus mampu memahami psikologi siswanya. Guru juga harus mampu mengenali kesulitan belajar yang dialami oleh siswa dan mengupayakan solusi tepat yang sesuai dengan kondisi siswanya. Pembelajaran matematika yang baik adalah yang menjadikan siswa sebagai pusat dari pembelajaran itu sendiri. Siswa akan lebih aktif dan kreatif dengan sendirinya. Selain itu, siswa akan belajar dengan baik bila ia memiliki motivasi, dapat bekerja sendiri maupun berkelompok dan dapat belajar secara kontekstual tidak hanya tekstual. Untuk membangun suasana pembelajaran yang menyenangkan, perlu adanya kerjasama antara guru dan siswa.


Sumber:
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
http://marsigitpsiko.blogspot.com/2008/12/hakekat-matematika-sekolah-dan-siswa.html Diakses pada 13 Januari 2012.
Dr. Marsigit. 2004. Inovasi Pembelajaran untuk Meningkatkan Gairah Siswa dalam Belajar. diunduh dari http://staff.uny.ac.id. Diakses pada 14 September 2011.